Ia menyebutkan antara lain pohon akasia yang belakangan banyak
tumbang dan juga pohon trembesi yang akarnya bisa merusak trotoar atau
jalan. Tapi pohon trembesi yang mestinya ditanam di tanah lapang atau di
bukit-bukit, sekarang justru banyak ditanam di badan jalan kota.
"Salah kaprah ini ditelan mentah-mentah oleh sebagian besar orang bahwa [trembesi] adalah tanaman ajaib yang bisa memberikan keteduhan dan kenyamanan dalam waktu singkat. Memang proses pertumbuhannya cepat, tapi tidak bisa ditanam dimana saja," kata Karen.
Ia menuturkan, pohon akasia - yang bibitnya berasal Australia, puluhan tahun lalu digunakan untuk penghijauan di Indonesia. Belakangan banyak pohon yang tumbang adalah akasia, sehingga sekarang jenis pohon itu tidak boleh lagi digunakan sebagai tanaman peneduh jalan.
Menurut Karen, gara-gara salah pilih pohon untuk penghijauan, bisa-bisa kita melihat trotoar jalan-jalan rusak akibat pertumbuhan akarnya.
Sekjen Dewan Hortikultura Nasional itu mencatat penanaman yang selama ini dilakukan di kota-kota Indonesia masih acak.
Katanya, pemerintah belum membuat studi tentang tanaman apa yang cocok dengan ekosistem setempat. Padahal, tanaman yang cocok ditanam di Indonesia Timur, misalnya, akan berbeda dengan yang cocok di Indonesia Barat.
"Seharusnya yang ditanam atau diperbanyak adalah tanaman-tanaman lokal, karena kita sekaligus mengkonservasi tanaman kita sendiri dan memperbaiki ekosistem kita."
Karen juga mengatakan, ada jenis tanaman yang tergolongan alien species, yakni tanaman dari luar ekosistem lokal yang mengancam lingkungan dan habitat tanaman lokal. Jenis spesies invasif itu, menurutnya, mengancam pertanian dan perekonomian.
Ia memberi contoh enceng gondok. Tanaman itu semula masuk Indonesia sebagai tanaman hias, tapi sekarang merusak lingkungan, memenuhi Danau Tondano dan membuat kering Danau Limboto.
Karen mengakui, bahwa yang menjadi masalah adalah keadaan sekarang ini di mana segala macam spesies diperbolehkan masuk ke Indonesia.
Karantina sebetulnya sudah melarang masuknya tanaman ke Indonesia. Kata Karen, peraturan itu perlu ditegakkan karena berbagai patogen yang tak diketahui bisa masuk bersama tanaman itu, yang bisa membahayakan pertanian dan kehutanan lokal.
"Kalau kita kembali ke Indonesia (dari luar negeri) kita mesti mengisi formulir .. (di situ ditanya) apakah anda membawa plants atau sejenisnya, seperti itu. Biasanya kita kosongin, kita nggak ngisi kalau membawa tanaman kecil. Itu harus diisi, kita harus jujur dan kita harus mengisi, karena bisa membahayakan pertanian dan kehutanan," tuturnya.
Karen menjelaskan, berbeda dengan tanaman alien yang membahayakan, ada juga tanaman introduksi dari luar yang baik untuk memajukan industri pertanian lokal.
Menurut Karen, Indonesia masih perlu memperkuat penelitian untuk mengetahui jenis-jenis tanaman yang baik untuk dijadikan tanaman introduksi.
Selain itu, Karen berpendapat, pemerintah perlu membuat pemetaan tanaman lokal yang terbukti teruji untuk lingkungannya masing-masing.
Sumber: http://www.radioaustralia.net.au
"Salah kaprah ini ditelan mentah-mentah oleh sebagian besar orang bahwa [trembesi] adalah tanaman ajaib yang bisa memberikan keteduhan dan kenyamanan dalam waktu singkat. Memang proses pertumbuhannya cepat, tapi tidak bisa ditanam dimana saja," kata Karen.
Ia menuturkan, pohon akasia - yang bibitnya berasal Australia, puluhan tahun lalu digunakan untuk penghijauan di Indonesia. Belakangan banyak pohon yang tumbang adalah akasia, sehingga sekarang jenis pohon itu tidak boleh lagi digunakan sebagai tanaman peneduh jalan.
Menurut Karen, gara-gara salah pilih pohon untuk penghijauan, bisa-bisa kita melihat trotoar jalan-jalan rusak akibat pertumbuhan akarnya.
Sekjen Dewan Hortikultura Nasional itu mencatat penanaman yang selama ini dilakukan di kota-kota Indonesia masih acak.
Katanya, pemerintah belum membuat studi tentang tanaman apa yang cocok dengan ekosistem setempat. Padahal, tanaman yang cocok ditanam di Indonesia Timur, misalnya, akan berbeda dengan yang cocok di Indonesia Barat.
"Seharusnya yang ditanam atau diperbanyak adalah tanaman-tanaman lokal, karena kita sekaligus mengkonservasi tanaman kita sendiri dan memperbaiki ekosistem kita."
Karen juga mengatakan, ada jenis tanaman yang tergolongan alien species, yakni tanaman dari luar ekosistem lokal yang mengancam lingkungan dan habitat tanaman lokal. Jenis spesies invasif itu, menurutnya, mengancam pertanian dan perekonomian.
Ia memberi contoh enceng gondok. Tanaman itu semula masuk Indonesia sebagai tanaman hias, tapi sekarang merusak lingkungan, memenuhi Danau Tondano dan membuat kering Danau Limboto.
Karen mengakui, bahwa yang menjadi masalah adalah keadaan sekarang ini di mana segala macam spesies diperbolehkan masuk ke Indonesia.
Karantina sebetulnya sudah melarang masuknya tanaman ke Indonesia. Kata Karen, peraturan itu perlu ditegakkan karena berbagai patogen yang tak diketahui bisa masuk bersama tanaman itu, yang bisa membahayakan pertanian dan kehutanan lokal.
"Kalau kita kembali ke Indonesia (dari luar negeri) kita mesti mengisi formulir .. (di situ ditanya) apakah anda membawa plants atau sejenisnya, seperti itu. Biasanya kita kosongin, kita nggak ngisi kalau membawa tanaman kecil. Itu harus diisi, kita harus jujur dan kita harus mengisi, karena bisa membahayakan pertanian dan kehutanan," tuturnya.
Karen menjelaskan, berbeda dengan tanaman alien yang membahayakan, ada juga tanaman introduksi dari luar yang baik untuk memajukan industri pertanian lokal.
Menurut Karen, Indonesia masih perlu memperkuat penelitian untuk mengetahui jenis-jenis tanaman yang baik untuk dijadikan tanaman introduksi.
Selain itu, Karen berpendapat, pemerintah perlu membuat pemetaan tanaman lokal yang terbukti teruji untuk lingkungannya masing-masing.
Sumber: http://www.radioaustralia.net.au
Tidak ada komentar:
Posting Komentar