Dunia telah didera oleh berbagai fenomena cuaca ekstrem. Mulai dari
gelombang panas di Amerika Serikat pada 2011 hingga gelombang panas di
Rusia pada 2010 yang bersamaan dengan banjir besar di Pakistan.
Di balik fenonema cuaca ekstrem tersebut tim peneliti dari Potsdam
Institute for Climate Impact Research (PIK) berhasil menemukan penyebab
dan benang merahnya. Hal ini terungkap dari berita yang dirilis oleh PIK, Senin (25/2/12).
Menurut tim peneliti, udara terus bersirkulasi dalam bentuk gelombang
yang mengelilingi bumi. Udara bersirkulasi di antara wilayah tropis dan
benua Arktika.
Saat aliran gelombang udara ini bergerak naik (swing up), mereka
menyedot udara hangat dari wilayah tropis dan membawanya ke Eropa, Rusia
atau Amerika Serikat. Saat aliran ini bergerak turun (swing down)
gelombang udara menyedot udara dingin dari wilayah Arktika.
“Yang kami temukan dalam berbagai kejadian cuaca ekstrem, gelombang
udara ini tidak bergerak selama beberapa minggu. Mereka tidak menyedot
udara dingin. Udara panas terus ada dalam gelombang udara yang bergerak
lamban ini. Komponen di dalamnya mengalami peningkatan aktivitas dari
yang biasanya lemah,” ujar Vladimir Petoukhov yang memimpin penelitian
ini.
Menurut Petoukhov, faktor waktu menjadi sangat penting memicu cuaca
ekstrem ini. Jika suhu permukaan bumi mencapai 30 derajat Celsius dalam
satu atau dua hari, tidak masalah. Yang menjadi persoalan adalah ketika
pemanasan global ekstrem ini terjadi selama 20 hari berturut-turut
bahkan lebih.
Anamoli suhu inilah yang kemudian mengacaukan sirkulasi udara di bumi
dan meningkatkan aktivitas gelombang panas yang terperangkap dalam
gelombang yang tidak bergerak, memicu terbentuknya cuaca ekstrem.
Cuaca panas yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang ini juga
akan merusak ekosistem, mencabut nyawa, memicu kebakaran hutan dan gagal
panen.
Perubahan iklim karena peningkatan emisi gas rumah kaca ini tidak
terjadi secara seragam. Di benua Arktika, kenaikan suhu sekecil apapun
akan memercepat hilangnya salju dan es. Kondisi ini mengurangi perbedaan
temperatur antara benua Arktika dan wilayah lain seperti Eropa.
Padahal, perbedaan temperatur inilah yang memicu sirkulasi udara di
bumi. Tanpa adanya perbedaan temperatur, gelombang panas raksasa akan
terperangkap – tidak bergerak – dalam atmosfer, memicu cuaca ekstrem.
Sehingga ketika suhu bumi terus memanas, frekuensi cuaca ekstrem akan
terus meningkat. “Penelitian ini melengkapi penemuan sebelumnya yang
menghubungkan cuaca ekstrem dan perubahan iklim. Melalui penelitian ini,
mekanisme itu telah terbukti,” ujar Hans Joachim Schellnhuber, Direktur
PIK yang turut membidani penelitian ini.
Redaksi Hijauku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar